Monday 7 December 2015

TUGAS 3 PENGANTAR TELEMATIKA

Kasus 1: Hacker Retas Ribuan Akun Pelanggan Vodafone


Liputan6.com, London - Kejahatan dunia maya (cybercrime) kembali menimpa perusahaan telekomunikasi asal Inggris, yakni Vodafone. Kali ini hacker meretas 1.827 akun pelanggan. Aksi yang terjadi pada Sabtu (31/10/2015) lalu tersebut merupakan yang kedua kalinya dalam satu bulan ini.

Menurut juru bicara Vodafone, seperti dikutip Reuters, Minggu (1/11/2015), hacker itu kemungkinan mendapat akses dari kode akun bank pengguna, termasuk empat digit angka terakhir dari akun bank mereka, tak terkecuali nama dan nomor ponselnya.

Kejadian ini memperlihatkan adanya upaya untuk melakukan penipuan dengan meretas data mereka dari akun Vodafone. 

"Mereka (hacker) melakukan hal itu dengan menggunakan alamat email dan passwordyang diperoleh dari sumber tak dikenal di luar Vodafone," ujar juru bicara Vodafone.

"Untungnya, tidak ada nomor kartu kredit ataupun kartu debit yang berhasil diperoleh (peretas). Namun, tetap saja kejadian ini berpotensi terjadinya penipuan atau phishingterhadap 1.827 pelanggan," katanya lagi. 

Perusahaan pun sempat mengontak sebagian pihak yang terlibat, dan memastikan bahwa pelanggan tak perlu khawatir atas kejadian ini. 

(cas)



Kasus 2: WN Tiongkok dan Taiwan Ditangkap Terkait Penipuan Online




JAKARTA - Ratusan warga negara asing (WNA) asal Tiongkok dan Taiwan ditangkap aparat Sub Direktorat Cyber Crime Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Ratusan WNA itu ditangkap karena melakukan kejahatan penipuan online terhadap sesama WNA dengan melancarkan aksinya di Indonesia.
‎Kasubdit Cyber Crime Bareskrim Polri, Kombes Rahmat Wibowo‎ mengatakan, terdapat 119 WNA yang ditangkap pada Senin dan Selasa, 19 dan 20 Oktober 2015.
"‎Total yang diamankan ada 119 WNA, mereka dari Tiongkok dan Taiwan. Penangkapan dilakukan di lima lokasi, Cirebon, Surabaya, dan Bali," ujar Rahmat di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (21/10/2015).
Menurut Rahmat, lokasi penangkapan pertama berada di Jalan Pemuda Nomor 28, Cirebon, Jawa Barat. Di lokasi ini polisi mengamankan 18 WNA terdiri dari tiga wanita dan 15 laki-laki.
Lalu di Jalan Wahidin 25 Cirebon, di mana sebanyak 23 WNA terdiri dari 11 pria WN Tiongkok, empat perempuan WN Tiongkok, tiga perempuan WN Taiwan dan lima pria WN Taiwan diamankan.
Penangkapan berlanjut di Hotel Ciputra Word, Jalan Opek Nomor 39 Surabaya di mana polisi mengamankan 32 orang terdiri dari delapan wanita dan 24 laki-laki. ‎
Di Bali, penyidik juga menangkap para pelaku di dua tempat yakni sebanyak 23 orang WNA terdiri dari 16 WN Tiongkok dan tujuh WN Taiwan diamankan di Jalan Srikrisna Nomor 99 Kuta Badung, Bali dan 23 WNA diamankan di Jalan Dewisri IV/3 Kuta, Badung, Bali.
"Penangkapan dilakukan atas permintaan bantuan Criminal Investigation Department-Ministry of Public Security China, atas dugaan tindak pidana Telecommunication Fraud," jelas Rahmat.
Dalam penangkapan itu polisi juga menyita sejumlah barang bukti di antaranya 88handphone, 49 paspor, lima laptop, uang tunai mencapai Rp174.300.000, beberapa lembar mata uang asing, alat recorderflashdiskharddisk, dan mobil.
Menurut Rahmat para tersangka ini telah dibawa ke Jakarta, dan telah diserahkan pula ke Ditjen Imigrasi karena telah menyalahgunakan izin tinggal sebagaimana diatur dalam Pasal 122 UU Nomor 6/2011 tentang Keimigrasian.
"Setelah itu mereka akan di deportasi ke China dan ke Taiwan guna dilakukan penyidikan terhadap tindak pidana Telecommunication Fraud," pungkas Rahmat.
(put)



Kasus 3: Jelang Konser Live Bon Jovi, Website Palsu Beredar



JAKARTA - Bon Jovi siap menggelar konser di Gelora Bung Karno, Jakarta pada 11 September 2015. Jelang konser live tersebut, sebuah website bernama www.ticketbonjovi.com sengaja melakukan penipuan.
Deki Surahman (35), menjadi salah satu korban penipuan website tersebut. Deki mengatakan, sedikitnya sudah 60 orang yang menjadi korban dalam masalah serupa.
"Saya datang untuk membuat laporan adanya indikasi penipuan dari website www.ticketbonjovi.com yang katanya menjual tiket konsernya Bon Jovi," kata Deki saat ditemui di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polda Metro Jaya Jakarta, Kamis (3/9/2015).
Deki menjelaskan, para korban telah membeli tiket dengan cara online dan dijanjikan tiket fisik. Namun, hingga kini mereka belum juga menerima tiket yang dijanjikan meski telah membayar.
"Ketika kita konfirmasi balik itu tida dijawab. Lalu kita coba hubungi kembali live nationnya sendiri ternyata mereka mengatakab bahwa www.ticketbonjovi.com itu bukan official resmi tiket box mereka," ujar Deki.
Kemudian, akhirnya Deki merasa curiga, lantaran pembicaraan yang awalnya bisa dihubungi melalui telepon kini hanya bisa melalui live chat.
"Lalu kita kembali menghubungi www.ticketbonjovi.com ternyata tidak bisa. Pembicaraan juga hanya bisa dengan live chat saja, itu pun pada saat kita chat langsung ditutup. Web ini juga tidak mencantumkan dimana kantornya," beber Deki.
Lebih lanjut Deki mengatakan, saat ini sedikitnya jumlah korban sudah sekira 60 orang dengan kerugian Rp 108 juta. "Jumlah korban ada 60 yang saya tahu, tapi yang baru terinventarisi sebanyak 28 dengan total uang sebanyak Rp108 juta," ujarnya.
Deki menambahkan, dia dan sejumlah korban yang berasal dari berbagai daerah semula percaya karena website ini juga memiliki customer service. "Kita cek juga di google, nama ticketbonjovi.com ada paling atas dan pertama kali muncul. Apalagi ketika kita berbicara melalui live chat maupun telepon pertama kali lancar saja dan itu sangat meyakinkan," tambahnya.
Pihak yang menjadi korban dari penipuan website palsu ini diantaranya terdiri dari pelajar hingga orang tua. Tiket yang dijual terdiri dari mulai harga mulai harga Rp500 ribu hingga Rp3,5 juta. "Harganya sama persis dengan official resmi, makanya kita percaya," imbuhnya.
Dengan pelaporan yang dia lakukan hari ini, Deki sangat berharap kepada aparat kepolisian bisa mengusut tuntas penipuan di website tersebut. "Semoga pelaku penipuan website itu bisa ditemukan dan website tersebut segera ditutup agar masyarakat tidak tertipu," tutupnya.
(ful)



Kasus 4: Hacker Porak-porandakan Situs Pemerintah Belanda



Liputan6.com, Jakarta - Laporan BBC menyebutkan bahwa sebuah serangancyber dalam skala masif telah menyerang pemerintah Belanda. Sejumlah situs resmi milik instansi pemerintah Belanda dan layanan publik dikabarkan tumbang akibat ulah hacker.

BBC melansir, serangan cyber ini dimulai pada sore hari kemarin, Sabtu (14/2/2015), waktu setempat. Rencana serangan ini sendiri menurut informasi yang beredar sebenarnya telah diketahui pemerintah Belanda setelah mendapatkan peringatan dari pihak pemerintah Amerika Serikat (AS).

Bahkan divisi pertahanan cyber yang dipayungi oleh Departemen Pertahanan AS (Pentagon) juga telah memprediksi bahwa serangan akan berlanjut ke Perancis dan sejumlah negara Eropa lainnya.

Belum diketahui secara pasti siapa dalang dibalik serangan cyber yang menyasar otoritas negara-negara di Eropa ini. Hanya saja telah diketahui bahwa serangan yang dilakukan adalah jenis 'DDoS Attack'.

DDoS Attack belakangan identik dengan kelompok hacker yang menamakan dirinya sebagai '
Lizard Squad'. Reputasi mereka sebagai kelompok peretas jempolan dimulai pada akhir tahun 2014 kemarin, tepatnya pada malam perayaan Natal. Saat itu Lizard Squad mengklaim bahwa merekalah pihak yang bertanggung jawab atas tumbangnya dua layanan berbasis internet di ranah industri game, yakni PlayStation Network (PSN) dan Xbox Live.

Lalu pada awal Januari 2015 Lizard Squad kembali beraksi. Kali ini tak tanggung-tanggung, enam (6) jejaring sosial kenamaan dibuat luluh lantak. Keenamnya adalah Facebook, Instagram, Facebook, Instagram, MySpace, AOL Instant Messenger, Tinder dan Hipchat. Kesemuanya terdidentifikasi mendapat serangan DDoS Attack.


Kasus 5: Gelang Kebugaran jadi Calon Sasaran Empuk Hacker




Liputan6.com, Jakarta - Menurut hasil penelitian terbaru Kapersky Lab, fitness trackeratau wristband (gelang kebugaran) berpotensi menjadi sasaran empuk hacker dalam mencuri data pribadi penggunanya.

Hasil penelitian Kapersky Lab mengungkapkan bahwa terdapat celah keamanan yang cukup berbahaya pada saat gelang kebugaran berinteraksi dengan smartphone.
Roman Unuchek, peneliti senior dari Kapersky Lab menjelaskan, metode otentikasi yang diimplementasikan dalam beberapa jenis produk gelang kebugaran memungkinkan pihak ketiga untuk dapat terhubung tanpa terdeteksi ke perangkat, menjalankan perintah, dan dalam beberapa kasus menarik data yang tersimpan pada perangkat.

Sejauh ini hasil penelitian Unuchek memang mencatat bahwa data-data yang dapat dicuri masih terbatas pada aktivitas fisik penggunanya. Namun, di masa depan, risiko akan meningkat dan data medis sensitif milik pengguna gelang kebugaran bisa menjadi incaran para hacker.
Dalam keterangan resminya, Kapersky Lab memaparkan, perangkat berbasis Android 4.3 atau lebih tinggi telah memiliki kemampuan untuk terhubung dengan gelang kebugaran dari vendor tertentu menggunakan aplikasi. Untuk mengntegrasikannya, pengguna harus mengkonfirmasi pemasangan dengan menekan tombol pada gelang mereka.

Proses ini lah yang bisa dimanfaatkan dengan mudah oleh para hacker. Hacker dapat dengan mudah mengatasi hal ini karena sebagian besar gelang kebugaran modern tidak memiliki fitur layar.
Notifikasi yang diterima hanya berupa getaran pada gelang. Ketika gelang bergetar meminta pemiliknya untuk mengkonfirmasi, korban tidak mengetahui secara pasti apakah merekaterhubung dengan perangkat mereka sendiri atau dengan perangkat orang lain.

"Pelacak kebugaran yang tersedia saat ini masih cukup bodoh, mampu menghitung langkah dan mengikuti siklus tidur, tetapi tidak lebih dari itu. Namun generasi kedua perangkat tersebut hampir tiba, dan mereka akan dapat mengumpulkan informasi yang lebih banyak tentang penggunanya. Sangatlah penting untuk memikirkan tentang keamanan dari perangkat saat ini, dan memastikan bahwa ada perlindungan yang tepat tentang bagaimana pelacak dapat berinteraksi dengan smartphone," ujar Unuchek.

(dhi/isk)


Sumber: